Minggu, 30 Maret 2014

Jangan Gol-Put



Jangan Gol-Put

  Dalam setiap perhelatan pemilu baik pada level pusat maupun daerah, fenomena Gol-Put menjadi sisi lain yang selalu menarik perhatian. Bagimana tidak, Gol-Put merupakan fenomena politik yang selalu hadir menemani hasil suara pemilu.
Tentu masih hangat dalam ingatan dari pengumuman resmi KPU pada hari sabtu, 9 mei 2009, disebutkan bahwa suara sah yang terhitung hanya mencapai 104.099.785 suara dari 171 juta penduduk yang harusnya menggunakan hak suara dengan benar. dari 171 juta penduduk tersebut, sekitar 10% yakni 17.488.581 penduduk menggunakan suara keliru/salah sehingga menyebabkan suara tidak sah.  sehingga ada 66,9 juta (67 juta) “Gol-Put” atau suara penduduk yang tidak menggunakan hak memilihnya dengan tepat.

  Gol-Put di satu sisi dianggap sebagai ‘anti-thesis’ dari partisipasi politik, namun di sisi lain sering dianggap sebagai sikap politik itu sendiri. Pertanyaan seputar Gol-Put juga acap mengemuka seiring problematika yang terjadi disetiap pemilu. Pertanyaan yang muncul biasanya adalah apakah warga bersikap Gol-Put karena memilih atau terpaksa?

  Secara garis besar, jawaban pertanyaan tersebut dapat bermuara ke dua asumsi. Pertama, ada alasan bersifat personal yang menyebabkan seseorang memilih untuk tidak memilih. Alasan ini bisa terdiri dari beragam faktor, mulai dari ketidaktahuan terhadap para calon yang diusung, ketidakpedulian terhadap proses pemilu, atau bahkan tingkat distrust yang tinggi terhadap para calon yang diusung. Kedua, alasan yang lebih bersifat struktural. Alasan ini biasanya melibatkan faktor eksternal. Artinya, warga memilih Gol-Put karena terpaksa, misalnya keadaan yang tidak memungkinkan untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara, masalah kurangnya jumlah surat suara, atau kekacauan administrasi kependudukan sehingga tidak terdata sebagai pemilih.

  Apapun alasannya, Gol-Put telah menjadi bagian dari fenomena pemilu. Pada kondisi tertentu Gol-Put juga dianggap sebagai sikap politik itu sendiri. Sayangnya, Gol-Put cenderung menghasilkan ‘suara mengambang’ dan sikap politik yang abu-abu. Oleh karena itu, dalam kehidupan berpolitik, Gol-Put dianggap tidak selaras dengan sikap terbuka dan anti terhadap politik partisipatif. Padahal, demi mewujudkan kehidupan yang demokratik, partisipasi politik menjadi salah satu kriteria yang harus dipenuhi. Meskipun bukan satu-satunya kriteria, partisipasi warga dalam pemilu merupakan bagian dari pembelajaran politik untuk mewujudkan kedewasaan berdemokrasi.

  Model demokrasi yang dibangun diatas partisipasi aktif masyarakat tentu menjadi harapan politik Indonesia kedepan. Oleh karena itu, warga diharapkan menunjukkan kepeduliannya terhadap event politik. Ada beberapa alasan mengapa politik partisipatif perlu digalakkan oleh segenap masyarakat. Pertama. Politik partisipatif merupakan salah satu pilar keberhasilan demokrasi dan demokratisasi. Tanpa politik partisipatif, demokrasi akan kehilangan esensinya sebagai sistem politik yang berfondasi kedaulatan rakyat.

  Kedua, seseorang sejatinya tidak bisa lepas dari kehidupan berpolitik. Sebagai warga negara, pemimpin poilitik di level manapun mempengaruhi gerak kehidupan masyarakat yang dipimpinnya. Betapapun kita bersikap tidak peduli terhadap proses politik, kita tidak akan bisa lepas dari pengaruh politik. Ketiga, watak dasar manusia yang tidak pernah puas mempengaruhi kehidupan berpolitik. Artinya, meskipun model demokrasi yang dicita-citakan ideal, tidak ada kepuasan dalam upaya mencapainya. Begitu pula dalam memilih pemimpin politik yang belum tentu ditemukan calon ideal. Akhirnya, kedewasaan berdemokrasi menentukan sikap kita untuk memilih Gol-Put atau tidak.

Hal yang perlu kita ketahui terhadap event pemilu.

  Satu hal yang sangat berguna bagi kita adalah pemahaman yang baik tentang undang-undang pemilu kita. Kalau kita baca Pasal 200 dan seterusnya dalam undang-undang tersebut, maka sebenarnya tidak ada ruang bagi Gol-Put untuk menyebut diri sebagai bentuk perlawanan
.
  Dalam pasal-pasal tersebut diterangkan bahwa seberapa persen pun suara yang masuk maka jumlah kursi di DPR akan tetap terisi penuh. Hal ini dilakukan dengan cara membagi jumlah kursi yang tersisa pada partai-partai yang lolos electoral threshold, menurut prosentase perolehan suara mereka.

  Dengan kata lain, walaupun hanya 10% dari pemilih potensial yang memberikan suara dalam pemilu, kursi DPR tetap saja akan terisi penuh dan tidak akan kosong. Kalau yang menang dari 10% tersebut adalah orang-orang yang korup, maka merekalah yang bakal memegang tongkat komando kebijakan negara ini. Kalau yang menang dari 10% tersebut adalah orang-orang yang anti terhadap Islam, maka sudah tentu semua kebijakan akan menjadi musibah bagi umat Islam negeri ini.
Begitu juga dalam pemilihan Presiden, yang berhak mencalonkan adalah mereka yang memiliki 20% perolehan suara pemilu. Jadi yang dapat 20% suara dari 10% orang yang ikut pemilu tetap berhak mengajukan capresnya. Dan capres yang memenangkan 51% suara dari 10% orang yang ikut pemilu tetap berhak menjadi Presiden RI walaupun 90% lainnya Gol-Put.

   Inilah romantika demokrasi, sebagai contoh nyatanya adalah Mesir, Hosni Mubarak memenangkan pemilu yang hanya diikuti tidak lebih dari 30% pemilih potensial karena calon-calon legislatif dari oposisi seperti kelompok Ikhwanul Muslimin habis ditangkapi dan dipenjarakan, selain itu para pendukung kelompok ini juga dipersulit bahkan dilarang ikut mencoblos di banyak TPS negeri itu. Al-hasil Hosni Mubarak tetap jadi presiden seluruh Mesir walau cuma beberapa persen dimenangkan.

  Itulah demokrasi dan kita dituntut harus tetap cerdik menyikapi sistem demokrasi ini.
  Kembali ke pokok permasalahan, pilihan Gol-Put sebagai perlawanan saat ini menunjukkan masih rendahnya PQ (Political Quotient) umat ini. Dan dalam Islam dijelaskan bahwa setiap sikap (pilihan) akan dimintai pertanggungjawaban termasuk memilih untuk merelakan kepemimpinan umat ke tangan para durjana.
  Jadi alih-alih melakukan perlawanan, mereka yang Gol-Put malah harus mengikuti apapun kebijakan dari orang-orang yang mereka biarkan untuk menang dalam pemilu walaupun yang mereka biarkan menang itu adalah orang setingkat Fir’aun, raja Namruz  atau pemimpin keji dan anti Islam lainnya sekalipun.

  Mungkin kita bisa tertawa dan bisa menangis saat membaca opini para pendukung Gol-Put dari sebuah blog. Si penulis mengatakan bahwa semakin banyak orang yang Gol-Put maka Indonesia akan segera hancur, lalu saat itulah Khilafah Islamiyah akan didirikan. Dari situ saja kita bisa menebak-nebak seberapa baik dan canggih PQ  dari saudara-saudara kita.
  Apakah Gol-Put akan menghasilkan perbaikan? Dalam perspektif terbatas, bisa saja itu terjadi tapi pada kondisi Indonesia sekarang ini, sudah seharusnya berfikir berkali-kali. Karena boleh jadi Gol-Put malah menguntungkan partai-partai curang. Mengapa demikian? Karena  dengan Gol-Put parpol curang bisa:
- Mengurangi biaya pembelian suara. Kelompok yang Gol-Put bisa jadi menguntungkan parpol yang terbiasa tebar uang dan hadiah. Daerah-daerah yang dipetakan kurang prospektif dari segi potensi atau tidak lebih menguntungkan dalam jangka panjang, tidak akan terlalu serius diurus karena keterbatasan dana. Mereka akan fokus pada daerah-daerah strategis dan potensial. Karena alasan budget juga, parpol cenderung memfokuskan pada daerah-daerah kaya potensi. Masyarakat daerah tersebut yang masih menengah ke bawah akan menjadi sasaran money politics. Sedangkan yang menengah ke atas didekati dengan rekruting menjadi caleg atau iming-iming proyek di masa kemenangannya.  Intinya jangan sampai ada Gol-Put dan pilihan partai lain di daerah tersebut karena fokus anggaran partai sudah ditetapkan. Oleh karena itu secara umum, parpol yang memiliki budget raksasa adalah mereka yang paling berpotensi memenangkan perang dengan melihat sistem yang berlaku saat ini.

  Memudahkan memupuk kekayaan dalam jangka panjang, minimal 5 tahun ke depan. Hasilnya tentu saja kekayaan yang berlimpah dari kesempatan bereksplorasi dalam lima tahun ke depan, menyiapkan pemilu berikutnya.

  Sebagian kecil bisa saja dibagi agar pemilih merasakan dan mengurangi potensi Gol-Put masa berikutnya serta memupuk loyalitas pemilih, sebagian besar yang lain adalah logistik partai dan kekayaan orang-orangnya.

Kalau dipikir-pikir lebih jauh, akan ada juga keuntungan untuk partai atau kelompok dengan agenda de islamisasi atau Islam phobia. Dengan besarnya Gol-Put terutama dari muslim Indonesia maka yang akan terjadi :
1)     Mengurangi keterwakilan muslim dalam pengambilan kebijakan
2)     Mengurangi peran-peran muslim dalam kehidupan berbangsa secara umum
3)     Meruntuhkan satu demi satu regulasi bernafaskan syariah
4)     Memudahkan jalan untuk mengembalikan Pancasila sebagai asas tunggal
5)     Memudahkan jalan melemparkan Islam dari ranah publik

Hal lain yang perlu diingat adalah TNI dan Polri sudah barang tentu berada pada pihak yang memenangkan pemilu (itu kata undang-undang). Mereka siap  mengamankan apapun kebijakan yang berkuasa. Dan dukungan internasional juga akan mengalir bila lima agenda di atas mulai ter format dan bergerak. Toh yang memilih itu 100% atau cuma 50%, hasilnya akan tetap legitimate untuk menjadi penguasa.

Menakar Resiko Muslim Indonesia Bila Gol-Put Sukses

  Dari 222 juta rakyat (menurut sensus 2006) = 170 juta pemilih. Dengan hitung-hitungan asal saja, bila persentase muslim Indonesia adalah 86% maka jumlah pemilih muslim adalah 170 juta x 86% = 146 jutaan, sedangkan non muslim adalah 170 juta x 14% = 24 jutaan. Dengan pendekatan pessimistic non scientific, anggap saja 40% dari muslim itu Gol-Put. Dengan data dari persentase Gol-Put Pil-kada lalu, terlihat daerah-daerah yang mayoritas penduduknya muslim ternyata memiliki angka Gol-Put yang tinggi, rata-rata 40%, sedangkan daerah yang mayoritas non muslim seperti Bali, NTT, Maluku, dan Papua malah memiliki angka Gol-Put yang rendah dengan rata-rata 20%. Maka prediksi bila Gol-Put sukses dan berdasarkan hasil rata-rata maksimal total suara yang didapat partai Islam dalam beberapa pemilu sebelumnya, sekitar 20%, yang ikut memilih di pemilu mendatang 60% karena selebihnya Gol-Put. Didapat lah perhitungan kotor sebagai berikut: Suara partai Islam = 20% x (60%x146 juta) = 17.52 juta atau hanya 10%. Suara muslim di partai sekuler = 80% x (60%x146 juta) = 70.08 juta atau hanya 40%. Sisa suara adalah mereka yang Gol-Put dan non muslim. Nah, kalau bisa tebak, dalam pemilu legislatif angka Gol-Put non muslim bakal sangat rendah atau bahkan mendekati nol persen. Hal ini terkait dengan isu keterwakilan mereka dan juga agenda-agenda lainnya. Dan kemungkinan besar bahkan bisa jadi pasti mereka tidak akan menjatuhkan hak pilih ke caleg muslim, ini sebuah misteri idealisme. Jadi anggap saja dari 24 juta pemilih itu semua memberikan suaranya pada wakil mereka. Jadi prosentasenya adalah sekitar 14%, melampaui suara gabungan partai Islam.

  Hasilnya memang sungguh mengerikan, partai Islam 10%, partai sekuler (yang di dalamnya sudah pasti ada non) dan partai non Islam 40%+14%, sisanya sekitar 36% adalah suara umat Islam yang tak terpakai. Di dalam 36% itu; ada mereka yang tak kebagian money politik, ada mereka yang katanya protes dan menunjukkan bentuk perlawanan, ada yang katanya pemilu itu haram dan oleh karena itu tak ikut pemilu demi syariat Islam.

  Untuk yang terakhir ini, tak bisa banyak berharap akan hadirnya Syariat, karena kondisinya saat itu sudah semakin membingungkan. Walaupun dengan dalih hasil sebuah survey yang mengatakan 72% orang Indonesia ingin syariah Islam, tetap saja faktanya akan terlihat di pemilu ini.

  Bila afiliasi muslim Indonesia masih pada ideologi-ideologi sekuler dan materialistic sebagaimana sebagian dari mereka memilih partai non Islam dan sebagian lainnya memilih Gol-Put karena alasan materialistis, maka sudah barang tentu hasil survey tersebut hanya kamuflase. Bisa jadi survey dilakukan hanya untuk membesar-besarkan isu hingga terjadi radikalisme yang diharapkan atau bisa jadi sebagai alasan dana asing bisa masuk lebih banyak dengan tujuan de-Islamisasi. Atau bisa jadi ada error di survey tersebut. Siapa tau? Di pemilu 2009 inilah hasil-hasil survey itu akan terbongkar kebenarannya atau kebobrokannya.
Di mana kaum Gol-Put adalah tumbalnya. Bila si baik yang menang, maka mereka ikut menang dan menikmati hasil tanpa perjuangan. Lalu bila si bejat yang menang, maka mereka juga yang terlibat mengantarkannya ke tampuk kemenangan tanpa perlawanan yang katanya melawan.

Apa yang Kita lakukan ?

  Kalau memang kita serius menginginkan akan adanya perbaikan. Mulailah mendaftar kalau belum terdaftar, urus semua kelengkapan pemilih kita. Lalu mulai cari daftar caleg yang ada.
Lihat-lihat dan kenali mereka dan tawaran serta program mereka. Cari informasi lebih dalam tentang mereka. Kalau memang otak ini sudah mumet, serahkan ke hati kita masing-masing. Bukankah Allah swt. akan selalu mengabulkan doa-doa kita.

  Jangan lupa keshalihan lahiriah bisa jadi sebuah parameter. Selain itu kita lihat juga orang-orang yang menawarkannya dan atau di sekitarnya, apakah juga kesalehan itu tampak? Selama kampanye ikutan yang kita sreg dengannya, hitung-hitung wisata 5 tahunan. Yang sangat penting mulailah shalat istikharah sampai hari pemilihan tiba. Insya Allah, Allah swt. akan memberikan yang terbaik atas usaha kita itu. Lalu Pergi ke TPS, contreng atau coblos saja kalau sudah yakin.
Kalau belum biarkan Allah swt. mengilhami, karena janji Allah swt. bagi mereka yang istikharah pasti terjadi. Kalau belum dapat juga, lihat saja wajah-wajah mereka, pilih yang bisa menyejukkan kita.

  Terakhir, jangan lupa masukan ke kotak suara, dan ucapkan Alhamdulillah dan do’a kepada Allah, semoga yang dipilih adalah pilihan yang tepat dan dapat menghantarkan Indonesia ke gerbang yang lebih baik.
Dalam sebuah ungkapan disebutkan “Hati yang bersih akan memuluskan jalan keluar dari sebuah masalah. Allah swt. menganugerahkan hati sebagai salah satu alat selain kepala yang sering hang ini.” Allahu a’lam


Editor : Istata


Tidak ada komentar:

Posting Komentar