Jangan
Gol-Put
Dalam setiap perhelatan pemilu baik pada level pusat maupun
daerah, fenomena Gol-Put menjadi sisi lain yang selalu menarik perhatian.
Bagimana tidak, Gol-Put merupakan fenomena politik yang selalu hadir menemani
hasil suara pemilu.
Tentu masih hangat dalam ingatan dari pengumuman resmi KPU
pada hari sabtu, 9 mei 2009, disebutkan bahwa suara sah yang terhitung hanya
mencapai 104.099.785 suara dari 171 juta penduduk yang harusnya menggunakan hak
suara dengan benar. dari 171 juta penduduk tersebut, sekitar 10% yakni
17.488.581 penduduk menggunakan suara keliru/salah sehingga menyebabkan suara
tidak sah. sehingga
ada 66,9 juta (67 juta) “Gol-Put” atau suara penduduk yang tidak menggunakan
hak memilihnya dengan tepat.
Gol-Put di satu sisi dianggap sebagai ‘anti-thesis’ dari
partisipasi politik, namun di sisi lain sering dianggap sebagai sikap politik
itu sendiri. Pertanyaan seputar Gol-Put juga acap mengemuka seiring
problematika yang terjadi disetiap pemilu. Pertanyaan yang muncul biasanya
adalah apakah warga bersikap Gol-Put karena memilih atau terpaksa?
Secara garis besar, jawaban pertanyaan tersebut dapat
bermuara ke dua asumsi. Pertama, ada alasan bersifat personal yang menyebabkan
seseorang memilih untuk tidak memilih. Alasan ini bisa terdiri dari beragam
faktor, mulai dari ketidaktahuan terhadap para calon yang diusung,
ketidakpedulian terhadap proses pemilu, atau bahkan tingkat distrust yang tinggi terhadap para calon
yang diusung. Kedua, alasan yang lebih bersifat struktural. Alasan ini biasanya melibatkan faktor eksternal. Artinya,
warga memilih Gol-Put karena terpaksa, misalnya keadaan yang tidak memungkinkan
untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara, masalah kurangnya jumlah surat suara,
atau kekacauan administrasi kependudukan sehingga tidak terdata sebagai
pemilih.
Apapun alasannya, Gol-Put telah menjadi bagian dari fenomena
pemilu. Pada kondisi tertentu Gol-Put juga dianggap sebagai sikap politik itu
sendiri. Sayangnya, Gol-Put cenderung menghasilkan ‘suara mengambang’ dan sikap
politik yang abu-abu. Oleh karena itu, dalam kehidupan berpolitik, Gol-Put
dianggap tidak selaras dengan sikap terbuka dan anti terhadap politik
partisipatif. Padahal, demi mewujudkan kehidupan yang demokratik, partisipasi
politik menjadi salah satu kriteria yang harus dipenuhi. Meskipun bukan
satu-satunya kriteria, partisipasi warga dalam pemilu merupakan bagian dari
pembelajaran politik untuk mewujudkan kedewasaan berdemokrasi.
Model demokrasi yang dibangun diatas partisipasi aktif
masyarakat tentu menjadi harapan politik Indonesia kedepan. Oleh karena itu,
warga diharapkan menunjukkan kepeduliannya terhadap event politik. Ada beberapa
alasan mengapa politik partisipatif perlu digalakkan oleh segenap masyarakat.
Pertama. Politik partisipatif merupakan salah satu pilar keberhasilan demokrasi
dan demokratisasi. Tanpa politik partisipatif, demokrasi akan kehilangan
esensinya sebagai sistem politik yang berfondasi kedaulatan rakyat.
Kedua, seseorang sejatinya tidak bisa lepas dari kehidupan
berpolitik. Sebagai warga negara, pemimpin poilitik di level manapun
mempengaruhi gerak kehidupan masyarakat yang dipimpinnya. Betapapun kita
bersikap tidak peduli terhadap proses politik, kita tidak akan bisa lepas dari
pengaruh politik. Ketiga, watak dasar manusia yang tidak pernah puas
mempengaruhi kehidupan berpolitik. Artinya, meskipun model demokrasi yang
dicita-citakan ideal, tidak ada kepuasan dalam upaya mencapainya. Begitu pula
dalam memilih pemimpin politik yang belum tentu ditemukan calon ideal. Akhirnya,
kedewasaan berdemokrasi menentukan sikap kita untuk memilih Gol-Put atau tidak.
Hal yang perlu kita ketahui terhadap event pemilu.
Satu
hal yang sangat berguna bagi kita adalah pemahaman yang baik tentang
undang-undang pemilu kita. Kalau kita baca Pasal 200 dan seterusnya dalam
undang-undang tersebut, maka sebenarnya tidak ada ruang bagi Gol-Put untuk
menyebut diri sebagai bentuk perlawanan
.
Dalam
pasal-pasal tersebut diterangkan bahwa seberapa persen pun suara yang masuk
maka jumlah kursi di DPR akan tetap terisi penuh. Hal ini dilakukan dengan cara
membagi jumlah kursi yang tersisa pada partai-partai yang lolos electoral threshold, menurut prosentase
perolehan suara mereka.
Dengan
kata lain, walaupun hanya 10% dari pemilih potensial yang memberikan suara
dalam pemilu, kursi DPR tetap saja akan terisi penuh dan tidak akan kosong.
Kalau yang menang dari 10% tersebut adalah orang-orang yang korup, maka
merekalah yang bakal memegang tongkat komando kebijakan negara ini. Kalau yang
menang dari 10% tersebut adalah orang-orang yang anti terhadap Islam, maka
sudah tentu semua kebijakan akan menjadi musibah bagi umat Islam negeri ini.
Begitu
juga dalam pemilihan Presiden, yang berhak mencalonkan adalah mereka yang
memiliki 20% perolehan suara pemilu. Jadi yang dapat 20% suara dari 10% orang
yang ikut pemilu tetap berhak mengajukan capresnya. Dan capres yang memenangkan
51% suara dari 10% orang yang ikut pemilu tetap berhak menjadi Presiden RI
walaupun 90% lainnya Gol-Put.
Inilah romantika demokrasi, sebagai contoh nyatanya
adalah Mesir, Hosni Mubarak memenangkan pemilu yang hanya diikuti tidak lebih
dari 30% pemilih potensial karena calon-calon legislatif dari oposisi seperti
kelompok Ikhwanul Muslimin habis ditangkapi dan dipenjarakan, selain itu para
pendukung kelompok ini juga dipersulit bahkan dilarang ikut mencoblos di banyak
TPS negeri itu. Al-hasil
Hosni Mubarak tetap jadi presiden seluruh Mesir walau cuma beberapa persen
dimenangkan.
Itulah
demokrasi dan kita dituntut harus tetap cerdik menyikapi sistem demokrasi ini.
Kembali
ke pokok permasalahan, pilihan Gol-Put sebagai perlawanan saat ini menunjukkan
masih rendahnya PQ (Political Quotient) umat ini. Dan dalam Islam dijelaskan
bahwa setiap sikap (pilihan) akan dimintai pertanggungjawaban termasuk memilih
untuk merelakan kepemimpinan umat ke tangan para durjana.
Jadi
alih-alih melakukan perlawanan, mereka yang Gol-Put malah harus mengikuti
apapun kebijakan dari orang-orang yang mereka biarkan untuk menang dalam pemilu
walaupun yang mereka biarkan menang itu adalah orang setingkat Fir’aun, raja
Namruz atau pemimpin keji dan anti Islam lainnya sekalipun.
Mungkin
kita bisa tertawa dan bisa menangis saat membaca opini para pendukung Gol-Put
dari sebuah blog. Si penulis mengatakan bahwa semakin banyak orang yang Gol-Put
maka Indonesia akan segera hancur, lalu saat itulah Khilafah Islamiyah akan
didirikan. Dari situ saja kita bisa menebak-nebak seberapa baik dan canggih
PQ dari saudara-saudara kita.
Apakah
Gol-Put akan menghasilkan perbaikan? Dalam perspektif terbatas, bisa saja itu
terjadi tapi pada kondisi Indonesia sekarang ini, sudah seharusnya berfikir
berkali-kali. Karena boleh jadi Gol-Put malah menguntungkan partai-partai
curang. Mengapa demikian? Karena dengan Gol-Put parpol curang bisa:
- Mengurangi
biaya pembelian suara. Kelompok yang Gol-Put bisa jadi menguntungkan parpol
yang terbiasa tebar uang dan hadiah. Daerah-daerah yang dipetakan kurang
prospektif dari segi potensi atau tidak lebih menguntungkan dalam jangka
panjang, tidak akan terlalu serius diurus karena keterbatasan dana. Mereka akan fokus pada daerah-daerah strategis dan
potensial. Karena alasan budget juga, parpol cenderung memfokuskan pada
daerah-daerah kaya potensi. Masyarakat daerah tersebut yang masih menengah ke
bawah akan menjadi sasaran money politics. Sedangkan yang menengah ke atas
didekati dengan rekruting menjadi caleg atau iming-iming proyek di masa
kemenangannya. Intinya jangan sampai ada Gol-Put dan pilihan partai lain
di daerah tersebut karena fokus anggaran partai sudah ditetapkan. Oleh karena
itu secara umum, parpol yang memiliki budget raksasa adalah mereka yang paling
berpotensi memenangkan perang dengan melihat sistem yang berlaku saat ini.
Memudahkan
memupuk kekayaan dalam jangka panjang, minimal 5 tahun ke depan. Hasilnya tentu
saja kekayaan yang berlimpah dari kesempatan bereksplorasi dalam lima tahun ke
depan, menyiapkan pemilu berikutnya.
Sebagian
kecil bisa saja dibagi agar pemilih merasakan dan mengurangi potensi Gol-Put
masa berikutnya serta memupuk loyalitas pemilih, sebagian besar yang lain
adalah logistik partai dan kekayaan orang-orangnya.
Kalau dipikir-pikir
lebih jauh, akan ada juga keuntungan untuk partai atau kelompok dengan agenda
de islamisasi atau Islam phobia. Dengan besarnya Gol-Put terutama dari muslim
Indonesia maka yang
akan terjadi :
1)
Mengurangi keterwakilan muslim dalam
pengambilan kebijakan
2)
Mengurangi peran-peran muslim dalam
kehidupan berbangsa secara umum
3)
Meruntuhkan satu
demi satu regulasi bernafaskan syariah
4)
Memudahkan jalan untuk mengembalikan
Pancasila sebagai asas tunggal
5)
Memudahkan jalan melemparkan Islam dari
ranah publik
Hal
lain yang perlu diingat adalah TNI dan Polri sudah barang tentu berada pada
pihak yang memenangkan pemilu (itu kata undang-undang). Mereka siap
mengamankan apapun kebijakan yang berkuasa. Dan dukungan internasional juga
akan mengalir bila lima agenda di atas mulai ter format dan bergerak. Toh yang
memilih itu 100% atau cuma 50%, hasilnya akan tetap legitimate untuk menjadi
penguasa.
Menakar Resiko Muslim Indonesia Bila
Gol-Put Sukses
Dari
222 juta rakyat (menurut sensus 2006) = 170 juta pemilih. Dengan
hitung-hitungan asal saja, bila persentase muslim Indonesia
adalah 86% maka jumlah pemilih muslim adalah 170 juta x 86% = 146 jutaan,
sedangkan non muslim adalah 170 juta x 14% = 24 jutaan. Dengan pendekatan
pessimistic non scientific, anggap saja 40% dari muslim itu Gol-Put. Dengan
data dari persentase Gol-Put Pil-kada lalu, terlihat daerah-daerah yang
mayoritas penduduknya muslim ternyata memiliki angka Gol-Put yang tinggi,
rata-rata 40%, sedangkan daerah yang mayoritas non muslim seperti Bali, NTT,
Maluku, dan Papua malah memiliki angka Gol-Put yang rendah dengan rata-rata
20%. Maka prediksi bila Gol-Put sukses dan
berdasarkan hasil rata-rata maksimal total suara yang didapat partai Islam
dalam beberapa pemilu sebelumnya, sekitar 20%, yang ikut memilih di pemilu
mendatang 60% karena selebihnya Gol-Put. Didapat lah perhitungan kotor sebagai
berikut: Suara partai Islam = 20% x (60%x146 juta) = 17.52 juta atau hanya 10%.
Suara muslim di partai sekuler = 80% x (60%x146 juta) = 70.08 juta atau hanya
40%. Sisa suara adalah mereka yang Gol-Put dan non muslim. Nah, kalau bisa
tebak, dalam pemilu legislatif angka Gol-Put non muslim bakal sangat rendah
atau bahkan mendekati nol persen. Hal ini terkait dengan isu keterwakilan
mereka dan juga agenda-agenda lainnya. Dan kemungkinan besar bahkan bisa jadi
pasti mereka tidak akan menjatuhkan hak pilih ke caleg muslim, ini sebuah
misteri idealisme. Jadi anggap saja dari 24 juta pemilih itu semua memberikan
suaranya pada wakil mereka. Jadi prosentasenya adalah sekitar 14%, melampaui
suara gabungan partai Islam.
Hasilnya
memang sungguh mengerikan, partai Islam 10%, partai sekuler (yang di dalamnya
sudah pasti ada non) dan partai non Islam 40%+14%, sisanya sekitar 36% adalah
suara umat Islam yang tak terpakai. Di dalam 36% itu; ada mereka yang tak
kebagian money politik, ada mereka yang katanya protes dan menunjukkan bentuk
perlawanan, ada yang katanya pemilu itu haram dan oleh karena itu tak ikut
pemilu demi syariat Islam.
Untuk
yang terakhir ini, tak bisa banyak berharap akan hadirnya Syariat, karena
kondisinya saat itu sudah semakin membingungkan. Walaupun dengan dalih hasil
sebuah survey yang mengatakan 72% orang Indonesia ingin syariah Islam, tetap
saja faktanya akan terlihat di pemilu ini.
Bila
afiliasi muslim Indonesia masih pada ideologi-ideologi sekuler dan
materialistic sebagaimana sebagian dari mereka memilih partai non Islam dan
sebagian lainnya memilih Gol-Put karena alasan materialistis, maka sudah barang
tentu hasil survey tersebut hanya kamuflase. Bisa jadi survey dilakukan hanya
untuk membesar-besarkan isu hingga terjadi radikalisme yang diharapkan atau
bisa jadi sebagai alasan dana asing bisa masuk lebih banyak dengan tujuan
de-Islamisasi. Atau bisa jadi ada error di survey tersebut. Siapa tau? Di
pemilu 2009 inilah hasil-hasil survey itu akan terbongkar kebenarannya atau
kebobrokannya.
Di
mana kaum Gol-Put adalah tumbalnya. Bila si baik yang menang, maka mereka ikut
menang dan menikmati hasil tanpa perjuangan. Lalu bila si bejat yang menang,
maka mereka juga yang terlibat mengantarkannya ke tampuk kemenangan tanpa
perlawanan yang katanya melawan.
Apa yang Kita
lakukan ?
Kalau
memang kita serius menginginkan akan adanya perbaikan. Mulailah mendaftar kalau
belum terdaftar, urus semua kelengkapan pemilih kita. Lalu mulai cari daftar
caleg yang ada.
Lihat-lihat
dan kenali mereka dan tawaran serta program mereka. Cari informasi lebih dalam
tentang mereka. Kalau memang otak ini sudah mumet, serahkan ke hati kita
masing-masing. Bukankah Allah swt. akan selalu mengabulkan doa-doa kita.
Jangan
lupa keshalihan lahiriah bisa jadi sebuah parameter. Selain itu kita lihat juga
orang-orang yang menawarkannya dan atau di sekitarnya, apakah juga kesalehan
itu tampak? Selama kampanye ikutan yang kita sreg dengannya, hitung-hitung
wisata 5 tahunan. Yang sangat penting mulailah shalat istikharah sampai hari
pemilihan tiba. Insya Allah, Allah swt. akan memberikan yang terbaik atas usaha
kita itu. Lalu Pergi ke TPS, contreng atau coblos saja kalau sudah yakin.
Kalau
belum biarkan Allah swt. mengilhami, karena janji Allah swt. bagi mereka yang
istikharah pasti terjadi. Kalau belum dapat juga, lihat saja wajah-wajah
mereka, pilih yang bisa menyejukkan kita.
Terakhir, jangan lupa masukan ke kotak suara, dan ucapkan
Alhamdulillah dan do’a kepada Allah, semoga yang dipilih adalah pilihan yang
tepat dan dapat menghantarkan Indonesia ke gerbang yang lebih baik.
Dalam
sebuah ungkapan disebutkan “Hati yang bersih akan memuluskan jalan
keluar dari sebuah masalah. Allah swt. menganugerahkan hati sebagai salah satu
alat selain kepala yang sering hang ini.” Allahu a’lam
Editor : Istata
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2009/04/01/2189/Gol-Put-bukan-jawaban/#ixzz2vmgXTHN4
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
Tidak ada komentar:
Posting Komentar